Jack, Paul, Andira, Jacklin, Yuli, Diana, Wisnu, Suzan, Paulia, Juli, Victoria, Gloria, Lara,Bima, Linda, Maya tidak hanya paten sebagai nama-nama orang kafir tetapi juga melekat pada sebagian nama anak-anak kaum muslimin karena dianggap keren, merasa bangga serta mengikuti kemajuan zaman.
Suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian kaum muslimin diliputi perasaan minder dan malu untuk memberi nama anaknya dengan nama Islami.
Sebagian lagi masih mempunyai semangat keislaman yang cukup sehingga memberi nama anaknya dengan nama yang sudah ‘dianggap’ Islami. Namun disayangkan, pada hakikatnya nama mereka belum sesuai dengan adab Islami. Contohnya nama “ ‘Abdurrasul Syihab Saifullah” atau “Fathin Nadiyah Rahmatullah” yang mungkin dianggap sebagai nama Islami yang bagus dan indah, tetapi ternyata nama ini bermasalah, dengan beberapa kekeliruan di dalamnya.
Sesungguhnya, metode penamaan anak tidak cukup hanya didasari perasaan subyektif bahwa nama itu indah, baik atau bagus semata, tetapi yang benar adalah nama yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar pemberian nama yang sebagian besar pembahasannya kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan juga kaum muslimin.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya nama merupakan identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat bersikap kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan dan syi’ar yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat. Nama merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia termasuk pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam, bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman diennya.
HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak, sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya ‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul) dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim
2. Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang memiliki hubungan sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:
1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada kelonggarannya.
YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Tidak ada perselisihan bahwa sang ayah adalah orang yang paling berhak untuk menamai anaknya. Jika seorang ayah berbeda pendapat dengan seorang ibu dalam menentukan nama untuk anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang diutamakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang ibu hendaknya tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas untuk saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau berkenan memberikan nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah dalam memberikan nama dengan seorang ulama yang mengetahui tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya agar menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi anaknya.
NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama adalah hak bagi seorang ayah, maka seorang anak juga dinisbahkan (disandarkan) kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa disebut “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)
Namun ada kenyataan bahwa terjadi penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga mereka mengatakan, misalnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini merupakan uslub (tata bahasa) yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak sesuai dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata bahasa Arab (I’rob).
Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini telah mengundang kesamaran ketika disatukan antara nama laki-laki dengan nama perempuan, sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kekeliruan para istri yang menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin ‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.
NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN
Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman
Disunnahkan memberi nama dengan dua nama yakni ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha Pengasih), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan selainnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.
Di kalangan para sahabat ada sekitar 300 orang yang semuanya bernama ‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang lahir dari kalangan kaum Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah bernama ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu.
2. ‘Abdu dari Asmaul Husna
Disunnahkan memberi nama dengan ta’bid (memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama Allah yang baik (asmaul husna), seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya Yang Maha menguasai), dan lain-lain.
3. Nama-nama Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala merupakan pemimpin anak Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia akhlaq dan amalan mereka merupakan amalan yang paling suci sehingga bila menamai dengan nama mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan mereka.
Ulama telah bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:
وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
“Semalam telah lahir untukku seorang anak laki-laki, maka aku beri nama dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini beliau bersabda:
سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
“Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan kun-yahku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim 14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)
4. Nama-nama Orang Shalih
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.” (HR Muslim)
Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para syuhada. Mereka adalah:
a) ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)
b) Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)
c) ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mad’ud Ats Tsaqafi)
d) Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)
e) Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)
f) Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)
g) ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)
h) Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)
i) ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).
Demikian pula, dapat ditemukan di kalangan kaum muslimin ada seseorang yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para sahabat Nabi antara lain: ‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir, Mu’awiyah, Salman, Sufyan, ‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al Fudhail, Syu’bah, Hammad, ‘Ubaid.
Dan ada pula yang menamai anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Shafiyyah, Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti Asma’, Sumayyah, Ummu Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu Aiman, Hindun, Ummu Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah, Ummu Rumman, Ummu Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain
5. Nama-nama yang Sifatnya Benar
Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran, ataupun diserap ke dalam lisan Arab.
Kedua, nama tersebut baik maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai dengan nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya suci), celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah: Aflah (yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar (yang paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).
ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
1. Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari), dan lain-lain.
2. Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
3. Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.
4. Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
5. Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.
6. Nama yang mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
7. Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.
NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
1. Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.
2. Nama yang mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).
3. Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
4. Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
5. Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
6. Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
7. Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).
8. Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar tersebut.”
9. Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah (rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
10. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
11. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 207)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang) dengan Salam (damai).
Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan nama yang mendekati pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab (meteor) menjadi Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak mendekam) menjadi Hassanah (kebaikan).
Demikian pula mengganti nama ‘Abdun Nabi (hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang Maha Kaya), ‘Abdur Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur (hambanya Yang Maha Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain) menjadi ‘Abdurrahman, Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).
SUNNAH MEMBERI KUN-YAH
Kun-yah adalah nama yang dimulai dengan kata “Abu” (ayah) untuk laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk perempuan, misalnya Abu Muhammad (ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.
Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari 6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 1989, dan selainnya)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.
Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal ‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.
NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF
Para salaf (pendahulu) shalih kaum muslimin ada yang dikenal dengan nama negeri kelahirannya, pekerjaan, dan hal-hal khusus/unik yang membuatnya dikenal masyarakat.
Sebagai contoh Muhammad bin ‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya Abu ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang menyusun kitab (hadits) paling shahih setelah Al Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Al Bukhari.
Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah Al Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah berdasarkan negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah (Iraq), Al Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi lahir di Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi lahir di Aljazair.
Ada Abu ‘Utsman, penulis kitab ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup di lingkungan pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama Imam Abu ‘Utsman Ash Shabuni.
Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran diberi laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena beliau bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki Al A’raj (seorang yang cacat kakinya) karena memang ada kekurangan fisik pada kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya dalam rangka pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut jika dalam bentuk pelecehan.
Sedangkan nisbah kepada manhaj yang selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari (pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).”
Rujukan:
1. Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam
2. Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat, Hukum, dan Adab-adabnya) oleh Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel di Majalah Salafy edisi XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19
3. CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi
4. Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10
sumber link: Ummu yahya
0 komentar:
Posting Komentar