Pages

Rabu, 29 Oktober 2014

Keutamaan Puasa Asyura dan Sejarahnya

Apa saja keutamaan puasa Asyura dan bagaimanakah sejarahnya?

Sejarah Puasa Asyura

‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharrom[1]. Dia adalah hari yang mulia. Menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.

Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.[2]

Nabi dalam berpuasa ‘Asyura mengalami empat fase[3];

Fase pertama: Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”.[4]

Fase kedua: Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyura, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyura.

Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah[5] sebagaimana hadits Aisyah yang telah lalu.

Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi.
Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”.[6]

Keutamaan Puasa Asyura

Hari ‘Asyura adalah hari yang mulia, kedudukannya sangat agung. Ada keutamaan yang sangat besar.
Imam al-Izz bin Abdus Salam berkata: “Keutamaan waktu dan tempat ada dua bentuk; Bentuk pertama adalah bersifat duniawi dan bentuk kedua adalah bersifat agama. Keutamaan yang bersifat agama adalah kembali pada kemurahan Allah untuk para hambanya dengan cara melebihkan pahala bagi yang beramal. Seperti keutamaan puasa Ramadhon atas seluruh puasa pada bulan yang lain, demikian pula seperti hari ‘Asyura. Keutamaan ini kembali pada kemurahan dan kebaikan Allah bagi para hambanya di dalam waktu dan tempat tersebut”.


[7] Diantara keutamaan puasa ‘Asyura adalah;

 1- Menghapus dosa satu tahun yang lalu

Rasululloh bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Puasa ‘Asyura aku memohon kepada Allah agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu.[8]
Imam an-Nawawi berkata: “Keutamaannya menghapus semua dosa-dosa kecil. Atau boleh dikatakan menghapus seluruh dosa kecuali dosa besar”.[9]

 2- Nabi sangat bersemangat untuk berpuasa pada hari itu

Ibnu Abbas berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ: يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah melihat Nabi benar-benar perhatian dan menyengaja untuk puasa yang ada keutamaannya daripada puasa pada hari ini, hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhon.[10]

 3- Hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isroil

Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa juga”.[11]

 4- Puasa ‘Asyura dahulu diwajibkan

Dahulu puasa ‘Asyura diwajibkan sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Hal ini menujukkan keutamaan puasa ‘Asyura pada awal perkaranya. Ibnu Umar berkata: “Nabi dahulu puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia agar berpuasa pula. Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura ditinggalkan”.[12]

 5- Jatuh pada bulan haram

Nabi bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharrom.[13]
Semoga kita diberi kemudahan untuk melaksanakan puasa Asyura. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------[1] Syarah Shahih Muslim 8/12, Fathul Bari, Ibnu Hajar 4/671, Mukhtashor Shahih Muslim, al-Mundziri hal.163-Tahqiq al-Albani, al-Mughni 4/441, Subulus Salam, as-Shon’ani 2/671[2] HR.Bukhari: 2004, Muslim: 1130[3] Lathoiful Ma’arif hal.102-107[4] HR.Bukhari: 2002, Muslim: 1125[5] Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyura sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah Mubarak Al Saif,Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi, Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121[6] HR.Muslim: 1134[7] Qowaid al-Ahkam, al-‘Izz bin Abdis Salam 1/38, Fadhlu ‘Asyura wa Syahrulloh al-Muharrom, Muhammad as-Sholih hal.3[8] HR.Muslim: 1162[9] Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, an-Nawawi 6/279[10] HR.Bukhari: 2006, Muslim: 1132[11] HR.Bukhari: 2004, Muslim: 1130[12] HR.Bukhari: 1892, Muslim: 1126[13] HR.Muslim: 1163 
artikel:muslim.or.id
Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)
by:Muh Alwan Hadi

Sabtu, 25 Oktober 2014

MANUSIA ITU EGOIS

Tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak egois. Sejatinya manusia itu semuanya memiliki sifat egois. Manusia egois itu manusia kodrati. Manusia individualis itu manusia kodrati. Sepihak, egoisme penting sebagai wujud eksistensi kita sebagai manusia. Tanpa egoisme sama sekali, mustahil kita bisa memiliki prinsip hidup. Dan orang yang hidup tanpa prinsip hidup sejatinya tidak lagi hidup karena ia tak lagi memiliki orientasi yang jelas dalam hidupnya.
Sampai di sini, menjadi sosok yang egois penting, bukan?
Tetapi, di pihak lain, terlalu egois juga tidak sehat. Egoisme yang berlebihan akan membuat diri kita anti-kritik, seperti pada ragam masukan sepositif apa pun, lantaran itu semua ditampiknya sebagai pengerdilan atas eksistensinya. Saat kita dikuasai egoisme, seketika kita kehilangan sepenuhnya akal sehat kita, bukan nurani. Kalau nurani, selalu saja eksis dan membisikkan kepada kita dengan setia bahwa kritiknya benar, pendapatnya lebih baik, tetapi lebih sering kita gagal mengikuti kata hati itu lantaran otak kita sudah keburu mampat disumbat aliran darah yang super cepat dipompa egoism itu.
Dan, surely, egoisme yang berlebihan ini, tidak pada porsinya ini, hanya memicu kerusakan dalam hidup kita, untuk lantas kita sesali kebodohan ucapan dan tindakan kita.Tapi, ya, gitudeh, nasi sudah jadi bubur, kata-kata tajam telah kadung kita coretkan kekulit seseorang hingga ia terluka, dan luka akibat tamparan egoism kita itu akan terus membekas.
Sesal tak pernah mampu mengobati dan menghilangkan luka perih itu, bukan? So, idealnya, kita janganlah melukai perasaan orang lain akibat kita gagal mengendalikan egoism kita.
Tapi, gimana nih, sulit banget mewujudkan itu kan?
Ya, betul, sulit sekali, dan justru karena sulitnya ia untuk ditegakkan, siapa pun yang mampu menegakkannya, maka dialah sungguh orang yang mulia itu, yang betul-betul muslim kaffah itu.
Tetapi tahukah Anda bahwa ternyata salah satu cara untuk mengurangi egoism diri itu adalah SADAR?
Ya, Sadar diri.
Sadar bahwa saya ini hanyalah makhluk rendah, nisbi, fana, jelas akan mendorong kita untuk mampu bersikap rendah hati. Tidak sadar bahwa diri ini hanyalah makhluk lemah, jelas hanya akan membuat diri kita merasa kuat, gagah, perkasa, pintar, hebat, kaya, berpangkat, dll., yang sempurna menjadikan kita selalu sombong dan penuh egoisme.
So, kita mau pilih yang mana?
Yang sadar bahwa diri ini hina, nista, rendah, setara dengan kaki yang suka menginjak sampah dan kotoran, ataukah kita akan memilih menjadi kelompok yang nggak sadar akan kelemahan diri kita sehingga terus merasa terunggul danterhebat?
Jika kita sadar bahwa kita ini tiada artinya, tiada kekuatan sama sekali, di hadapan-Nya, lantas kesadaran ini menjiwai setiap tindakan keseharian kita, yang terwujud dalam sikap rendah hati pada orang lain, maka itu pertanda bahwa kita telah berhasil dalam menerapi egoism diri. Sebaliknya, jika kita tidak sadar bahwa kita ini hanyalah makhluk lemah, maka otomatis kita takkan mampu mengendalikan egoism kita, sehingga sikap keseharian kita tetaplah sedemikian arogan, angkuh, sok, dan egois sekali.

Begitulah. Anda tinggal memilih mau jadi yang seperti apa. Yang manapun yang Anda pilih, akan menjadi seperti itulah perilaku keseharian Anda, dan akan menjadi sedemikian pulalah personalty Anda, dan akan kembali kepada Anda sendiri segala konsekuensinya.