Mencermati perjalanan kata “cinta” di
tengah manusia adalah suatu hal yang mengherankan bagi penuntut
kehidupan kekal abadi, pengelana ke negeri akhirat. Dalam kehidupan ini,
banyak insan rela untuk berkorban bagi siapa yang dia cintai, tidak
peduli dengan rintangan yang harus dihadapi guna membuat yang dia cintai
tenang dan bahagia. Betapa dia memberikan perhatian kepada kecintaannya
dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Terasa hatinya
gundah-gulana tatkala yang dicintainya dirundung duka dan kesedihan.
Atau amatlah besar kepedihan hati dan kesengsaraan tatkala dia
mendapatkan dari yang dia cintai ada yang selain dari apa yang dia
harapkan.
Memang merupakan tabiat manusia untuk
mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya, atau paling tidak membalas
budi kepadanya, dan ini adalah dasar pokok tumbuhnya cinta pada sebagian
manusia kepada sebahagian lainnya. Namun, bukankah segala nikmat dan
kebaikan yang dia dapatkan dari orang yang dicintainya adalah berasal
dari Allah?
“Dan apa saja nikmat yang ada pada
kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh
kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” [An-Nahl: 53]
Adakah suatu nikmat yang dia berikan kepada orang yang dia cintai tidak berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedang dia mengetahui bahwa hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di bumi?
Inilah letak keheranan sekaligus renungan pelajaran dalam samudra kehidupan yang penuh dengan cobaan dan godaan ini.
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa
tiada kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari kecintaan
kepada Allah. Itulah surga dunia dan kenikmatan hakiki.
Kecintaan kepada Allah adalah kenikmatan
jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan diri, energi hati, cahaya akal,
penyejuk mata dan kemakmuran batin. Tiada hal yang lebih nikmat dan
lebih sejuk bagi hati yang sehat, jiwa yang baik, dan akal yang jernih
dari kecintaan kepada Allah, rindu untuk beribadah kepada-Nya dan
berjumpa dengan-Nya.
Kecintaan kepada Allah ialah ruh
kehidupan, siapa yang luput darinya maka tergolong ke dalam
bangkai-bangkai yang berjalan. Ia adalah cahaya, siapa yang tidak
berbekal dengannya maka dia akan berada dalam lautan kegelapan. Ia
adalah penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan
terjangkit oleh seluruh penyakit. Dan ia adalah kelezatan, siapa yang
tidak menemukannya maka hidupnya hanya sekedar gundah gulana dan
kepedihan.
Kecintaan kepada Allah inilah yang
mengantarkan hamba kepada negeri yang hanya dapat dicapai setelah
menjalani berbagai rintangan dan kesulitan. Dan dengan cinta inilah,
seorang hamba meraih kedudukan dan derajat yang didambakan oleh setiap
hamba yang shalih.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, yang barangsiapa
perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan
kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai
dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia
mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali
kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam
neraka.”
Membahas masalah kecintaan kepada Allah
adalah menyibak samudra yang sangat luas. Namun cukuplah di sini kita
mengisyaratkan akan tiga hal.
Kecintaan kepada Allah adalah pondasi ibadah.
Berkata Ibnu Taimiyah, “Kecintaan kepada
Allah, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban
yang paling agung, dasarnya yang paling besar dan pondasinya yang mulia.
Bahkan dia adalah dasar setiap amalan, dari berbagai amalan keimanan
dan agama.”
Ibnul Qayyim bertutur pula, “Pondasi
ibadah adalah cinta kepada Allah. Bahkan mengesakan Allah adalah dengan
kecintaan itu, di mana segala cinta hanya untuk Allah. Tidak boleh
selain Allah dicintai bersama Allah. Akan tetapi kecintaannya hendaknya
karena Allah dan pada Allah, sebagaimana dia mencintai para nabi dan
rasul, para malaikat dan para wali. Kecintaannya kepada mereka adalah
dari kesempurnaan kecintaannya kepada Allah dan bukan cinta kepada
mereka bersama Allah.”
Maksudnya bahwa segala cinta itu hanya
untuk Allah. Bila seorang hamba memberi cinta kepada makhluk, maka
kecintaan tersebut juga karena Allah dan karena melaksanakan
perintah-Nya, sebagaimana seorang mukmin cinta kepada para nabi, para
malaikat, kaum mukminin dan selainnya. Adapun siapa saja yang mencintai
makhluk dengan cinta ibadah, atau di samping cinta kepada Allah dia
juga mencintai makhluk maka hal tersebut tergolong perbuatan kesyirikan
yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana dalam firman
Allah,
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
Tanda-tanda Cinta kepada Allah
Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan tanda-tanda kecintaan kepada Allah.
Di antaranya adalah firman Allah,
“Katakanlah, “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]
Ayat ini menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wa sallam dalam segala tuntunan dan syariat yang beliau bawa, secara zhahir maupun bathin.
Selanjutnya, firman Allah Ta’âlâ,
“Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Mâ`idah: 54]
Dalam ayat ini terdapat empat tanda kecintaan hamba kepada Allah:
Pertama, dia berlemah lembut kepada sesama mukmin.
Kedua, dia bersikap keras dan benci kepada orang-orang kafir.
Ketiga, dia berjihad di jalan Allah dengan segala kemampuannya, baik dengan harta, lisan, badan maupun hatinya.
Keempat, dia tidak takut terhadap celaan manusia dalam menjalankan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Selain itu, dari tanda kecintaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah mendahulukan Allah dan Rasul-Nya di atas segala perkara. Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat-tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan Keputusan-Nya,” Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]
Dari tanda kecintaan hamba kepada Allah adalah benci kepada apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sebab-sebab Penumbuh Cinta kepada Allah
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan sepuluh sebab yang akan menumbuhkan dan menambah rasa cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Berikut sepuluh sebab tersebut.
- Membaca Al-Qur`ân dengan tadabbur dan memahami maknanya.
- Memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) setelah menunaikan ibadah-ibadah wajib.
- Memperbanyak dzikir kepada Allah dalam segala keadaan.
- Lebih mendahulukan pelaksanaan dari apa yang dicintai oleh Allah, walaupun hal tersebut menyelishi hawa nafsunya.
- Membawa hati untuk mencermati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menelusuri taman-tamannya.
- Menyaksikan kebaikan, kebajikan dan nikmat-nikmat Allah kepada makhluk-Nya.
- Menundukkan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla.
- Berkhalwat dan bermunajad kepada-Nya di waktu malam, terkhusus pada sepertiga malam terakhir.
- Duduk dengan orang-orang shalih.
- Menghindari segala sebab yang bisa memisahkan antara hatinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Tentunya sepuluh sebab di atas bersumber dan dari berbagai keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Semoga Allah menjadikan kita semua
sebagai orang-orang yang senantiasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan
beramal dengan ketaatan. Wallâhu Ta’âla A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar