Pages

Jumat, 28 Januari 2011

Musik Bata

Oleh : Prof. DR H Moh Ali Aziz, M.Ag


”Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At-Taubah [9]: 82) 

Pada ayat-ayat sebelum ayat di atas, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik. Mereka mengatakan, ”Andaikan kami diberi rizki yang banyak, pastilah akan kami sedekahkan sebanyak-benyaknya dan kami menjadi orang-orang yang shaleh”. Setelah keinginan itu dipenuhi Allah, mereka menjadi kikir dan menjauh dariNya. Mereka tertawa riang ketika tidak ikut berjuang bersama Rasulullah, sehingga harta mereka utuh karena tidak ikut membiayai perjuangan dan mereka juga terlepas dari resiko mati di medan perang. Pada ayat di atas Allah memberi ultimatum, jika mereka tetap tertawa dan bersenang-senang dengan sikapnya itu, maka mereka bisa memuaskan tawanya sampai mati. Tapi itu sebenarnya tawa yang singkat dibanding tangisan yang ia rasakan selamanya di akhirat kelak. 
Antara tawa dan tangis juga disebutkan oleh Allah pada QS. An-Najm [53]:59-62: ”Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? dan kamu menertawakan dan tidak menangis? dan kamu mengabaikannya? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (QS. An-Najm [53]:59-62) Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan At-Thabary dijelaskan maksud ayat ini adalah keheranan Allah kepada orang-orang kafir Quresy. Mengapa mereka tetap heran dengan wahyu Al-Qur’an yang diterima Rasulullah, lalu menertawakan isinya? Mengapa mereka tidak menangis mendengar ancaman siksa Allah untuk para pelaku dosa padahal mereka juga pelaku dosa dan mengapa mereka acuh dengan pesan-pesan al-Qur’an? 

Menurut keterangan Imam Bukhari dari riwayat ’Ikrimah dari Ibnu Abbas, ketika empat ayat penutup Surat An-Najm tersebut turun, semua sahabat yang berada dekat Nabi langsung bersujud. Walid bin Al-Mughirah, seorang musyrik yang hadir di tempat itu juga mengambil sekepal tanah untuk ikut bersujud. ”Luar biasa lembut dan dalamnya sentuhan pesan ayat itu” katanya. 

Tawa dan Tangis selalu berseberangan akibatnya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Siapapun yang banyak tawa di dunia, ia banyak tangisnya di akhirat. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, ”Aku tidak akan mengumpulkan dua ketakutan dan tidak pula dua rasa aman bagi hambaKu. Jika ia merasa aman dariKu di dunia, Aku akan memberinya rasa takut di hari kiamat. Dan jika ia takut kepadaKu di dunia, akan Aku akan memberinya rasa aman pada hari kiamat” (HQR Ibnul Mubarak dari Al-Hasan). Orang yang banyak tertawa dan hidup permissive (serba boleh) tanpa aturan agama, ia akan menangisi nasibnya di akhirat. Sebaliknya bagi yang sering menangis karena dosa-dosanya, serba hati-hati dalam setiap langkahnya serta merasa terikat dengan hukum-hukum Allah dalam semua langkahnya, ia akan merasakan rasa aman dari siksa Allah dan berbahagia dengan penghormatan yang istimewa dari Allah. 

Anas RA bercerita, Rasulullah SAW pernah menyampaikan khutbah luar biasa yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Beliau berkhutbah, ’Lau ta’lamuna ma a’lam ladlahiktum qalilan walabakaitum katsira” (Andaikan kalian mengetahui apa yang telah saya ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. Anas menceritakan, ”maka para sahabat Rasulullah SAW menutup muka sambil menangis terisak-isak” (HR Bukhari Muslim) 

Assamarqandi menambahkan alasan mengapa kita tidak boleh banyak tertawa. Pertama, kita mempunyai dosa, dan kita tidak tahu Allah berkenan mengampuninya atau tidak. Kedua, kita telah melakukan sejumlah ibadah, tapi tidak ada jaminan bahwa Ibadah itu diterima Allah. Ketiga, kita bisa mengetahui masa lalu, tapi tidak tahu waktu berikutnya yang penuh spekulasi antara keimanan dan kekafiran. Keempat, di akhirat hanya ada surga dan neraka, sedangkan kita tidak tahu tempat kita di antara keduanya. Kelima, sampai hari ini kita tidak tahu apakah Allah ridla atau murka kepada kita.

Menurut Assamarqandi pula, banyak tertawa di samping menandakan seseorang sedang lupa akhirat, juga menyebabkan turunnya derajat keilmuan agamanya atau semakin menunjukkan kebodohan, jika ia memang orang bodoh.  

Umar bin Khattab berkata, ”Siapa yang banyak tertawa, akan hilang wibawanya. Siapa yang suka bergurau, ia tidak akan dihargai orang. Siapa yang membiasakan suatu perbuatan, ia akan dikenal dengan perbuatannya itu. Siapa yang banyak bicara, sangat mungkin banyak salahnya. Siapa yang sering melakukan kesalahan, tipislah rasa malunya. Siapa yang tipis rasa malunya, tipis pula kehati-hatian beragamanya (wara’). Siapa yang tipis kehati-hatian beragamanya, matilah hatinya. Siapa yang telah mati hatinya, nerakalah yang paling layak tempat kembalinya”. Sebaliknya, orang yang sering menangis, ia akan dijauhkan dari siksa Allah. Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Orang yang pernah menangis karena takut Allah tidak akan masuk neraka sehingga air susu kembali masuk ke dalam tetek. Dan debu yang menempel karena berjuang di jalan Allah tidak akan bisa berkumpul dengan asap neraka jahannam” (HR Turmudzy). Oleh sebab itu Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash memberi nasehat, ”Menangislah untuk akhiratmu. Jika tidak bisa, maka lakukan dengan segela cara sampai berhasil menangis”. ”Air mata takwa adalah lampu di alam kubur dan racun hewan pemakan jasad di dalamnya” kata Imam Al-Ghazali. 

Agama kita bukan melarang tertawa. Sebab tertawa itu sehat. Nabi juga beberapa kali tertawa. Akan tetapi, jika berlebihan, maka itu tidak sehat, karena akan menjadikan lupa persiapan menuju akhirat. Banyak tertawa merusak keseriusan kita dalam menyelesaikan suatu tugas. Kalau kita melihat wajah kita di berbagai media elektronik, porsi kita untuk tertawa sudah melebihi dosis, sehingga acara apa saja harus disertai tawa. Dengan bahasa yang agak ekstrim, kita sudah menjadi bagsa yang ”cengengesan”. Kapan bangsa kita lebih menyukai berpikir serius dan berkreasi, sehingga lahir karya-karya besar yang mengharumkan bangsa kita di mata dunia. 

Tawa berbeda dengan senyum. Kita justeru dianjurkan oleh Rasulullah SAW. ”Senyummu adalah sedekahmu”. Senyum adalah simbol syukur dan ridla kita kepada Allah atas suka dan duka yang kita alami. Senyum juga menghangatkan persahabatan. Dengan senyum, jiwa sehat dan persaudaraan lebih erat. Abu Dzarrin RA berkata, Rasulullah berpesan kepada saya ”Jangan sekali-kali meremehkan suatu kebaikan walaupun dengan bermuka manis bila bertemu dengan saudaramu” (HR Muslim). 
Tangisan bukan tanda kecengengan jika tangisan itu menyangkut akhirat. Rasulullah dan para sahabat pejuang tidak pernah gentar dan takut dalam pertempuran, sekalipun menghadapi musuh yang tidak seimbang. Tidak ada satupun nabi panakut atau peragu. Tapi takut luar biasa disertai isakan tangis ketika mengingat persiapan menghadap Allah. Mudah-mudahan tidak ada satupun jamaah di masjid ini yang belum pernah menangis sama sekali selama ramadlan ini. Jika ada, masih ada waktu-waktu istimewa khususnya lailatul qadar untuk itu. Kita tingkatkan introspeksi kita dan terus berlatih Musik Bata (Murah Senyum, Irit Ketawa dan Banyak Tangis). 




0 komentar:

Posting Komentar