Pages

Jumat, 28 Januari 2011

Muhasabah Tahun Baru

Oleh : Prof . DR. H Ahmad Zahro, MA


Sungguh jatah umur kita tak seorang pun yang tahu, kadang yang muda lebih dulu diambil yang Maha Kuasa, yang tua kemudian, tetapi umumnya memang yang tua duluan dan yang muda kemudian. Tetapi essensinya bukan panjang-pendeknya kesempatan, bukan panjang pendeknya umur, tetapi bisakah memanfaatkan umur itu sendiri. Oleh karena itu, marilah menjelang pergantian tahun masihiyyah, kita bermuhasabah, meneliti diri kita masing-masing, tentang tiga hal.



Pertama, muhaasabatul waqt, muhasabah waktu. Waktu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang, harus selalu menjadi obyek koreksi kita. Cobalah kita jujur, waktu yang lalu yang sekian banyak kita pergunakan itu, bermanfaat atau tidak, lebih banyak dosa atau pahala, durhaka atau setia kepada Allah SWT. Sekarang ini mari kita jadikan entry point. Sekarang kita berada di masjid, tetapi sama-sama di masjid, sama-sama memakai kopiyah putih, sama-sama datang untuk shalat Jum’at, berbeda pula nilainya ketika kita beda menyikapi dan mempersepsi apa yang kita lakukan sekarang ini. Banyak yang kelihatannya beribadah, tetapi tidak berpahala. Dan banyak pula yang kelihatannya melakukan hal yang remeh-temeh tetapi berpahala, seperti menyapu, murah senyum dll. karena ini soal penataan hati. Selanjutnya adalah waktu tersisa. Takutlah kepada Allah SWT, bahwa genggaman waktu ada di Tangan Allah SWT. bukan di kesehatan kita, bukan di fisik kita. Yang terbaik adalah orang yang diberkahi umurnya, maka kalau kita berdoa janganlah minta panjang umur, tetapi mintalah umur yang berkah. 

Untuk itu, marilah kita perbaiki hari esok ini, kesempatan emas ini, karena entah berapa hari lagi kesempatan ini tersisa, yang pasti akan berakhir, entah di mana, kapan, dan bagaimana cara berakhirnya. Yang penting kita harus bisa memanfaatkan waktu. Sampai-sampi Allah bersumpah demi semua waktu, waktu pagi, siang, sore, malam, shubuh ashar, digunakan untuk bersumpah semuanya, sekedar warning peringatan kepada kita, bahwa kita tidak pernah menang dengan waktu. Waktu memang sahabat kita, kalau kita bisa memanfaatkan, tetapi bisa menjadi lawan kita, tatkala kita tidak bisa memanfaatkan. Tetapi yang pasti, kita tidak pernah menang melawan waktu. 

Kedua, muhaasabatul a’maal, muhasabah perilaku. Waktu akan bisa berarti kalau ada perilaku. Perilaku ada 3 dimensi ; pertama, perilaku fikiran. Jangan pernah berfikir negatif tentang Allah, Al-Qur’an, Rasulullah dan Islam. Kadang orang senang mikir, tetapi kemudian lupa akhirat, lupa neraka. Karena itu kalau sudah menyangkut fikiran, menyerahlah kepada Al-Qur’an, pasti benar. Memang dimensi fikiran ada tiga : Dimensi wahyu, dimensi fikir dan dimensi realitas, yang semuanya bisa menjadi bahan fikiran, tetapi kalau menyangkut benar dan salah, maka acuannya adalah wahyu, bukan akal dan bukan realitas. Kedua, lisan/ucapan. Inilah kata kunci surga atau neraka. ”Nabi Muhammad SAW ditanya apa yang paling mungkin paling banyak masuk neraka? Rasulullah SAW menjawab : mulut atas dan mulut bawah”. Memang dosa paling banyak itu dari mulut. Coba kalau kita timbang-timbang memang benar, mulai pagi hingga sekarang, yang paling banyak bekerja adalah mulut. Nah, dalam rangka evaluasi diri, maka mari kita cocokkan mulut kita ini dengan Al-Qur’an dan as Sunnah. Ketiga, dimensi perilaku/tindakan. Ini juga menentukan, apapun yang kita fikirkan, apapun yang kita ucapkan, akan berhenti di situ kalau tidak ada tindakan. Walaupun juga sudah dimungkinkan bisa berdosa. Karena bagaimanapun yang bisa dilihat orang lain, yang bisa dirasakan orang lain adalah tindakan itu. Oleh karena itu marilah kita cocokkan tindakan kita dengan ucapan kita. Harga diri manusia, rekam jejak manusia, prestise dan prestasi manusia, tergantung cocok tidaknya ucapan dengan tindakan. 

Ketiga, Evaluasi Relasi. Ada tiga dimensi. Individual, Sosial dan Vertikal. Kalau kita berfikir tentang diri kita, kaitannya relasi diri sendiri, maka yang terpenting kuncinya adalah sehat. Usahakan diri ini sehat. Karena dengan sehat adalah modal segalanya. ”Sehat adalah nikmat yang tertinggi dalam hidup ini, tidak ada yang tahu kecuali orang sakit”. Kita yang dalam kondisi sehat ini tidak terasa kalau sehat itu nikmat, tetapi orang yang sakitlah yang tahu bagaimana nikmatnya sehat. Kemudian relasi sosial, kuncinya adalah kemaslahatan. Relasi vertika kepada Allah SWT, kuncinya adalah taat. Apapun yang kita lakukan kita dasari hati yang taat dan ikhlas karena Allah SWT. Jadi dalam kehidupan ini yang terpenting adalah dari ketiga dimensi itu perhitungan kita yang serba akhirat. Dunia ini lahan, dan sesungguhnya orang yang pandai mengatur hati, tidak ada kehidupan yang dimensinya hanya duniawi, tetapi bisa diukhrowikan. Jadi semua bisa bernilai ukhroei walaupun berbentuk duniawi. Sehingga kehidupan dunia kita serba bernilai ibadah. 

0 komentar:

Posting Komentar