Oleh : KH Dzulhilmi Ghozali, Alhafidz
Marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Peningkatan ketaqwaan dalam arti usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Masing-masing manusia berbeda cara mencapai ketaqwaan ini. Ada seorang mufassir dan muhaddis terkemuka, Syekh Muhammad bin ‘Alan Ashodiqy (1996- 1057 H). Membagi ketaqwaan itu menjadi 3 tingkatan.
Pertama, golongan yang berusaha menjauhkan diri dari ancaman siksa yang kekal. Dengan jalan membersihkan diri terhadap sifat syirik kepada Allah SWT. Ini sebagaimana disebutkan dalam surat Alfath : 26 yang maknanya : ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dalam firmanNya ini Allah SWT mewajibkan kepada orang-orang mukmin agar mencapai taqwa dengan menjauhkan diri dari sifat syirik kepada Allah SWT, memurnikan kepercayaannya, hanya kepada Allah SWT. Sehingga nantinya akan selamat dari siksaan api neraka yang kekal. Jadi golongan ini hanya mementingkan agar dirinya selamat dari siksa neraka yang kekal. Mereka tidak sanggup lebih dari itu. Mereka seakan rela masuk neraka asal tidak selamanya. Inilah tingkatan taqwa yang terendah.
Kedua, yaitu golongan yang berusaha menjauhi segala sesuatu yang berakibat dosa. Apakah dosa yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang karena dilarang oleh agama, seperti makanan yang diharamkan. Atau keengganan untuk melakukan sesuatu yang diperintah oleh agama, seperti meninggalkan shalat wajib. Kelompok inilah yang dimaksudkan Allah SWT sebagaimana firmanNya surat AlA’Raf : 96): Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Dalam ayat ini, Allah menjanjikan pemberian rahmat bagi orang yang beriman. Taqwa yang dimaksud dalam firman ini menurut tafsir Alkhozin ialah taqwa dalam arti menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah SWT dan apa saja yang di haramkanNya. Maksudnya bukan hanya sekedar memurnikan kepercayaan kepada Allah saja, akan tetapi kepercayaan yang sudah tertanam itu diwujudkan dalam bentuk nyata, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT. Golongan ini hanya mementingkan dirinya sendiri untuk selalu menghindar dari hal-hal yang mengakibatkan dosa. Tentunya setelah terlebih dahulu menanamkan keimanannya. Mereka tidak mampu berbuat selebihnya. Mereka tidak mampu menjalankan perintah-perintah agama secara sempurna. Mereka tidak mampu melakukan amalan-amalan yang mendapatkan pahala untuk kepentingan ketaqwaannya. Golongan ini adalah golongan pertengahan, lebih tinggi dibanding golongan yang pertama.
Ketiga, golongan yang berusaha membersihkan hatinya yang sedang lalai dan mengerahkan segalanya hanya untuk Allah SWT semata. Apa yang dikerjakan selalu disandarkan kepada Allah SWT dalam rangka mencari keridhoanNya. Taqwa inilah yang dikatakan betul-betul taqwa kepada Allah SWT. Dan taqwa inilah yang sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam firmanNya surat Ali Imran : 102 yang maknanya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.
Tuntutan taqwa pada ayat ini sangat berat, karena taqwa di sini mengandung tiga unsur. Pertama, harus mentaati ajaran agama, baik yang berbentuk perintah ataupun larangan. Dan tidak boleh sedikitpun lalai, atau berbuat maksiyat. Kedua, harus selalu ingat kepada Allah SWT, tanpa melupakan sejenakpun. Ketiga, harus selalu bersyukur kepadaNya, tanpa pernah mengingkarinya. Karena ketiga unsur ini amat berat, maka muncullah seorang sahabat yang mengungkapkan keberatannya kepada baginda Rasulullah SAW. : Ya Rasulullah, siapa yang mampu menjalankan taqwa yang seperti itu? maka turunlah Surat At Taghobun : 16 yang menjelaskan ayat di atas : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Setelah turun ayat ini, maka taqwa yang mengandung unsure di atas, hendaklah dilakukan dalam batas kemampuan maksimal. Sebagai manusia, wajarlah kalau seorang sahabat Nabi menyatakan keberatan dalam menjalankan taqwa sepenuhnya pada tingkatan terakhir ini, sebab tuhan menciptakan manusia disertai hawa nafsu.
Pengendalian hawa nafsu inilah yang sulit dilakukan oleh setiap manusia. Walaupun tuhan telah berkali-kali mengingatkannya agar berhati-hati dalam menghadapi hawa nafsu. Di antaranya dalam surah . Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. Dalam ayat ini Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam mengendalikan keinginan, menguasai kekayaan dan anak-anak. Bila keinginan nafsu itu sampai melalaikan akan mengingat Allah, berarti telah mengurangi kualitas ketaqwaan kita. Dalam hal menginginkan untuk menguasai harta kekayaan dan anak-anak, memang manusia sering kali sampai melupakan Tuhannya. Hal ini karena harta kekayaan dan anak-anak itu merupakan fitnah (cobaan) Allah SWT. Bagi yang mampu melewatinya dengan baik, akan mendapatkan keuntungan besar, dan Allah telah menjanjikan pahala yang besar.
0 komentar:
Posting Komentar