Oleh: Himmatul Mursyidah
Istilah pacaran sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama untuk setiap orang, dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, mencari teman bicara atau untuk mencurahkan isi hati, dan secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran.
Namun, sebenarnya tidak semua bentuk pacaran bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaaan, usia, kemampuan finansial, dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal di luar dugaan. Bahkan beberapa peneliti menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai pada level yang sangat jauh. Bukan sekedar jalan-jalan, tetapi data menunjukkan zina menjadi hal yang biasa terjadi. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Sistem hukum sekuler, warisan penjajah pun menjadikan zina sebagai hak asasi yang harus dilindungi, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila hal tersebut menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.
Istilah pacaran sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama untuk setiap orang, dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, mencari teman bicara atau untuk mencurahkan isi hati, dan secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran.
Namun, sebenarnya tidak semua bentuk pacaran bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaaan, usia, kemampuan finansial, dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal di luar dugaan. Bahkan beberapa peneliti menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai pada level yang sangat jauh. Bukan sekedar jalan-jalan, tetapi data menunjukkan zina menjadi hal yang biasa terjadi. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Sistem hukum sekuler, warisan penjajah pun menjadikan zina sebagai hak asasi yang harus dilindungi, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila hal tersebut menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.